Jumat, 24 April 2009

penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar

Pendidikan dasar 9 Tahun sampai saat ini masih sebatas lips of service. Masih merupakan angan-angan bahwa anak-anak kita "HARUS" mengantongi ijazah sekolah minimal SMP. Akan tetapi ini merupakan program angan-angan yang tidak bisa ditawar lagi. Program yang sangat baik dan mulia.

Mengapa hanya dikatakan lips service....?
Ada beberapa indikator penting sebagai penghalang untuk mensukseskan program mulia ini, antara lain :
1. Pemerintah masih belum menggalakkan paradigma Pendidikan Dasar 9 Tahun menjadi satu kesatuan paket program proses belajar mengajar ;
2. Masih banyaknya anak didik putus sekolah di tingkat dasar (SD 6 Thn) ;
3. Biaya pendidikan masih tinggi (Biaya informal).

dengan sedikit gambaran sebagai berikut :

Pemerintah masih belum menggalakkan paradigma Pendidikan Dasar 9 Tahun menjadi satu kesatuan paket program proses belajar mengajar, sehingga berdampak sebagai mata rantai lemahnya sisdiknas kita. 
Pendidikan Dasar 9 Tahun saat ini masih dibagi menjadi 2 [dua] segmen penyelenggaraan jenjang pendidikan, yaitu segmen pendidikan dasar pertama 6 tahun (SD) dan segmen dasar kedua 3 tahun (SLTP). Kondisi ini antara lain mengakibatkan :
a. Rawannya anak didik putus sekolah. Mereka dengan berbagai macam sebab tidak mampu melanjutkan ke segmen kedua.
b. Tidak meratanya kualitas proses belajar mengajar pada kedua segmen ini, yang diakibatkan karena penatalaksanaan kegiatan pendidikan dan kurangnya tenaga pendidikan yang kualitatif (S1) di tingkat SD.
Pemerintah seyogyanya mulai menggalakkan Sekolah Pendidikan Dasar 9 Tahun "SATU ATAP" kelas I sampai dengan kelas IX. Program ini akan melahirkan berbagai macam efektifitas dan efisiensi proses belajar mengajar.

Dengan terselenggaranya Pendidikan Dasar 9 Tahun satu atap, Penyelenggara pendidikan akan mudah untuk melakukan monitoring dan evaluasi siswa. Karena dalam program ini tidak ada lagi kelulusan di kelas VI untuk memperebutkan / melanjutkan ke kelas VII yang memerlukan perhatian yang cukup besar (Dana, waktu, dan berbagai macam permasalahan dalam proses PMB). 
Selanjutnya Pemerintah tinggal memikirkan solusi tepat untuk memberantas "oknum"sekolah yang melakukan berbgai macam perbuatan yang menyimpang dalam penyelenggaraan proses pendidikan.


Lemahnya kompetensi aparatur penyelanggara pendidikan di DKI Jakarta ditengarai menjadi faktor penyebab rendahnya kualitas pelayanan pendidikan dasar Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) di Jakarta. Artinya, pengorganisasian satuan-satuan pelaksana kebijakan dan kegiatan pendidikan dari tingkat dinas sampai tingkat sekolah menjadi titik tolak pendekatan manajemen sumber daya pendidikan untuk mencapai tujuan organisasi Sub Dinas Pendidikan SMP dan Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta. 

Asumsi ini merujuk pada pendapat Gilly dan Maycunich (2000:98) yang mengungkapkan bahwa pengorganisasian terkait dengan pengaturan orang-orang ke dalam berbagai fungsi pekerjaan pada lingkungan tingkat tanggung jawab tertentu, kewenangan dan pengambilan keputusan, serta relasi timbal balik untuk mencapai tujuan strategi organisasi. Sedangkan pendapat Terry (1997:264) menyebutkan, organizing is the establishing of effective behavioral relationsships among persons so that may work together efficiently and gain personal satisfaction in doing selected tasks under given environmental conditions for the pupose of achieving some goal or objective.

Kaidah ini ternyata tidak menihilkan kenyataan yang terjadi pada penyelenggaraan pendidikan SMPN di DKI Jakarta. Jika ditilik dari indikator keberhasilan Standar Pelayanan Minimal (SPM), jelas terlihat suatu gambaran faktual bahwa kualitas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di Jakarta masih belum optimal.

Misalnya, pencapaian SPM atas indikator tenaga kependidikan non guru hanya 68,81 persen. Padahal, target yang ditetapkan Mendiknas atas indikator ini sebesar 80 persen. Pencapaian SPM atas indikator guru berkualitas dan berkompetensi hanya mencapai 50,72 persen. Sedangkan target yang ditetapkan Mendiknas atas indikator ini sebesar 90 persen. Pencapaian SPM atas indikator jumlah siswa per kelas mencapai rata-rata 44 siswa per kelas. Target yang ditetapkan Mendiknas atas indikator ini adalah antara 30–40 siswa per kelas.

Kemudian dalam penyelenggaraan SMPN di DKI Jakarta masih terdapat jumlah guru bidang studi atau mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan guru. Misalnya, bidang studi seni budaya kekurangan guru sebanyak 74 orang, bidang studi keterampilan kekurangan guru sebanyak 70 orang dan BP kekurangan guru sebanyak 883 orang. Belum optimalnya kualitas pelayanan pendidikan pada SMPN juga terungkap dari data permasalahan sekolah tahun 2007, yang antara lain menunjukkan belum meratanya distribusi guru di setiap sekolah. Kemudian belum meratanya pembagian tugas jam mengajar di setiap sekolah. Selain itu, juga masih banyak guru yang belum mempunyai kualifikasi S1 sesuai tuntutan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan setiap guru minimal berijazah S1. Disamping itu, juga masih terdapat ketidaksesuaian antara kompetensi pendidikan yang dipunyai guru dengan bidang studi yang diajarkan.

Karena itu, dalam disertasi gelar doktor yang ditulis Saefullah, Wakil Kepala Dinas Provinsi DKI Jakarta, menyebutkan, pengorganisasian berpengaruh terhadap signifikan terhadap kualiatas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di Provinsi DKI Jakarta. Besarnya pengaruh pengorganisasian terhadap kualitas pendidikan ditentukan oleh hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang dan tanggung jawab penggajian dan pengendalian.

Dari hasil kajianya, Saefullah menyimpulkan tiga dimensi penyebab rendahnya kualitas pelayanan pendidikan dasar pada SMPN di DKI Jakarat yaitu, motivasi kerja aparatur penyelenggara pendidikan di DKI Jakarta masih rendah, susunan pelaksanaan kebijakan dan kegiatan pelayanan pendidikan dan distribusi pekerjaan-pekerjaan kurang terkoordinasi dengan baik, dan terakhir naik turunnya kualitas pelayanan pendidikan dasar lebih banyak tercermin dari penyediaan prasarana pendidikan yaitu gedung sekolah, ruang kelas, dan ruang perpustakaan serta tercermin dari perhatian kepala sekolah terhadap usulan orangtua siswa, perhatian guru terhadap keluhan siswa dan perhatian staf sekolah terhadap lingkungan sekolah.

Untuk itu, secara akademis Saefullah menyarankan, masalah pengorganisasian satuan-satuan pelaksana kebijakan dan pelaksana kegiatan pendidikan dan masalah kompetensi aparatur pada jabatan struktural dan jabatan fungsional dinas pendidikan perlu dijadikan kajian utama terhadap kualitas pelayanan pendidikan. Kemudian secara praktis, disarankan agar Dinas Pendidikan Dasar Provinsi DKI Jakarta mengembangkan suatu pola pengorganisasian satuan pelaksana kebijakan dan kegiatan yang tidak terlalu hirarkis dan pola pengorganisasian tersebut hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan dan permasalahan teknis pelaksanaan pekerjaan. Selain itu, disarankan dua persen dari total alokasi anggaran pendidikan dialokasikan untuk meningkatkan kompetensi tenaga keguruan SMPN dengan mengikutsertakan para guru yang berprestasi dan guru yang bertugas di daerah pesisir untuk mengikuti jejang pendidikan formal setingkat lebih tinggi atau mengikuti diklat keguruan.